“saya Samir, hubungi saya jika kamu butuh bantuan,” ucapnya lalu pergi meninggalkanku.

Salju turun begitu deras mala mini, memberikan kesan dingin yang menusuk tulang. Aku terus menatap kea rah bangunan megah yang ada di depanku, Hagia Sophia. “ah… Sultan Mahmed” ucapku pelan. “Ameera, kenapa menunggu di luar?”  ucap Biya terkejut melihatku berdiri di bawah hujan salju. “ayo masuk ke dalam saja” ucapnya kemudian, lalu menarikku untuk masuk ke dalam kafe terdekat. Seper sekon kemudian kami sudah duduk di ruangan yang bersuhu hangat. Dia adalah seseorang yang baru aku kenal beberapa hari yang lalu, dia adalah anak teman anak ayahku yang tinggal di Istanbul, Turki.

“jadi Meera, apa yang kamu inginkan dari Hagia Sophia itu?”, ucapnya tersenyum lalu menunjuk bangunan indah itu dengan dahunya. “emmm… aku…” suaraku menggantung, aku beralih menatap bangunan itu lalu tersenyum, “aku ingin melaksanakan sholat di sana Biya, dua rakaat saja” lanjutku. “yaampun Ameera, jauh-jauh kamu datang dari Indonesia hanya untuk hal semustahil itu?, itu tidak akan pernah terjadi lagi Ameera” ucap Biya Biya. Hagia Sophia adalah masjid dan akan tetap menjadi masjid untukku” jelasku. “kamu tahu Meera? Dulu ada orang sepeertimu, ingin mendirikan sholat di dalam masjid yang telah menjadi museum itu, kau tahu? Pihak keamanan langsung menyeretnya keluar, dan di giring menuju kantor keamanan setempat tanpa bisa membela, dia langsung dijebloskan ke dalam penjara, ini sudah aturan Ameera!, tidak bisa ditawar lagi. Ucap Biya berusaha mengingatkanku. Aku hanya mendengarkan tanpa mengindahkan.

Hagia Sophia dulunya adalah gereja milik orang-orang Kristen, yang ada di balik Benteng Constantinople. Tapi setelah Sultan Mahmed Al-Fatih berhasil menembus benteng itu, gereja itu dialih fungsikan menjadi masjid tanpa merubah isinya, hanya saja lukisan-lukisan yang berbau agama Kristen ditutup dengan kain. Namun saat Daulah Utsmani runtuh dan diganti menjadi Republik Turki, Hagia Sophia diubah menjadi museum.

“Ameera” panggil Biya. “ha…” aku sedikit linglung karena sedikit melamun, “kamu tahu peraturan itu tidak akan pernah bisa ditentang” ucap Biya mencoba membuatku sadar. “aku bukan ingin menentang peraturan itu, aku hanya ingin sholat di sana dua rakaat saja” ucapku,  entah kenapa tiba-tiba air mataku mengalir. Aku hanya ingin merasakan perjuangan umat Islam yang tak sempat aku ikuti.

Pagi ini aku harus bisa mewujudkannya. Aku pergi sendirian tanpa ditemani oleh Biya, karena aku tahu, dia pasti akan melarangku habis-habisan. Tapi entah mengapa aku merasa harus melakukannya. Aku ingin merasakan cahaya itu hadir kembali di Hagia Sophia. Aku mengambil mukenaku, aku mulai memakainya dan menghadap kiblat, suara petugas tidak aku hiraukan, aku hanya focus pada sholatku, aku tidak peduli, saat ini semua orang sudah melihat ke arahku saat aku memulai takbir. Setelah itu biarlah apa yang seharusnya terjadi, terjadi. Tak kusangka, setelah sholatku selesai semua orang sudah mengerumuniku, termasuk banyak petugas, aku tak peduli. Yang terpenting sholatku sudah selesai. Sejurus kemudian aku sudah diseret oleh para petugas, entahlah aku tidak merasakan apa-apa selain Bahagia yang memenuhi dadaku. Mereka memegang lenganku sangat kasar, lalu menyeretku dengan brutal. Mungkin karena sangat kesal dengan kelajuanku, mukena yang aku kenakan sudah tampak sangat kotor. ‘biarlah’ batinku. Aku diseret ke jalanan dan menjadi tontonan ‘biarlah’ batinku lagi. “tunggu!…jangan kamu perlakukan Wanita seperti itu!” ucapnya berusaha membelaku. “lepaskan dia atau kamu juga akan dipenjara” aku lantas berdiri karena dilepas begitu saja, petugas itu lalu pergi, orang-orang yang berkerumun pun sudah tak tersisa. Aku memandang sekeliling dengan bingung,”Kemana perginya orang-orang tadi? Mengapa aku tidak jadi diadili atau dipenjarakan?” batinku.

“Saya Samir, hubungi saya jika kamu butuh bantuan,” ucapnya lalu pergi meninggalkanku begitu saja.

 

 

Ditulis oleh Diayrila XII MIPA I