Sambutan penuh suka cita menyeruak seantero Pondok Pesantren Al Ikhsan yang menyambut prestasi Irsyad santri yang telah mengharumkan Almamater Al Ikhsan karena telah memenangkan juara 1 tilawah tingkat provinsi.
“Koncoku iki jos tenan rek! Aku mau nonton awakmu tilawah ning live streaming, wah merinding tenan aku ki, selamat yo mugo nular ning aku!” Riziq sahabat karib Irsyad menjabat tangannya dan kemudian memeluknya.
“Hehe… makasih ya Riziq ini juga karena doa dan dukunganmu”.
Kemudian teman yang lain berhamburan bersalaman dan mengucap salam kepada Irsyad, di tengan kerumunan itu Irsyad merasa mata dan kepalanya berkunang-kunang dan kemudian terjatuh pingsan.
Setelah Irsyad siuman, ia sadar kini tengah di mana. Ya, mana lagi jika bukan dinding dan atap serba putih juga infus yang tergantung di sampingnya sebagai pelengkap. Mengenai peristiwa sebelum ia berada di rumah sakit juga masih ingat
”Abah, Irsyad di sini gak akan lama kan? Kapan Irsyad bisa pulang pondok lagi?” tanya Irsyad pada Abahnya saat Abah Ibu nya baru datang.
“Lho… Abah baru datang udah ditanyain kapan pulang pondok. Kenapa gak tanya pulang rumah? Kowe ki jarang lho lek bali omah mbok sabar dulu, istirahat yang tenang biar cepet sembuh, masalah balik pondok kan gampang,” kata Abah Irsyad.
“Abah mu benar, Syad. Mbok kamu tanya kapan pulang rumah. Lho kamu ki lucu banget sih, Le. Mas mbakmu sering bali tapi njaluk e bali omah terus.” Tambah Ibu Irsyad yang kemudian disusul tawa renyah Abah dan Ibunya.
“Abah Ibu kulo niku dereng cekap setoran ngaji kaleh Pak Yai. Target kulo kantun sekedhik malih, nanggung Bah, Bu,” ucap Irsyad menatap kedua orang tuanya bergantian penuh sendu.
“Nunggu sembuh dulu ya, Le,” ucap Ibunya dengan mengusap kepalanya dengan kasih sayang.
Tiga hari sudah Irsyad lalui di rumah sakit dengan penuh kebosanan. Irsyad yang tak tahan, mengungkapkan semua kegabutannya pada Abah Ibunya,
“Sabar dulu ya, Le. Ini juga belum ada kejelasan dari dokternya. Ya udah gini, biar gak bosan Irsyad mau apa?” tawar Abahnya.
“Irsyad pingin tetep ngaji biarpun dirawat, Bah. Irsyad ingin ngaji Qur’an rindu ngaji kitab juga.”
Mendengar jawaban Irsyad keduanya tertegun terkagum.
“Anak bontot ku sing ganteng iki ora kroso wes gede wae tapi isih koyo cah cilik, gemes Ibu karo awakmu.” Ibu Irsyad mencubit pipinya kemudian memeluknya dengan erta, berhubung abah Irsyad seorang kyai yang hafidz Qur’an juga mahir dalam kitab, abah Irsyad memutuskan agar Irsyad mengaji Qur’an dan kitab padanya.
“Ya udah, berarti setorannya pagi ngaji kitabnya sore.” Ucap abah Irsyad.
“Kok segitu doang, Bah? Kurang itu, siangnya apa? Malamnya apa?”. Protes Irsyad.
“Le, awakmu ki isih sakit. Siangnya buat istirahat malamnya juga, Abah juga lagi cari jalan keluar gimana caranya Abah tetep bisa nampani setoran para santri yang juga nyambi nunggu kamu.” Terang abah Irsyad.
Kali ini Irsyad tak bisa protes,ia mengerti kesibukan Abahnya sebagai seorang kyai.
Esoknya, setelah berembug perihal jadwal ngaji sudah dimulai, kini kegabutannya diisi dengan setoran pagi, mengaji kitab sore, dan tak lupa mudarosah mengulang hafalan setelah maghrib hingga isya, bahkan sebelum menjelang tidur.
Sebulan kemudian, pagi itu Irsyad telah merampungkan hafalan Qurannya disaksikan oleh ibunda tercinta dan kakak-kakaknya yang menangis haru penuh bahagia melihat Irsyad yang tak patah semangat walau dirawat inap. Setelah doa khotmil Quran sudah dilantunkan, semua yang menyaksikan bergantian bersalaman dengan Irsyad serta peluk cium sebagai pelengkap.
“Alhamdulillah Syad, saiki awakmu wes rampung Quran e. Abah seneng awakmu semangat ngaji,” kata Abahnya.
“Alhamdulillah. Abah seneng, Irsyad juga seneng. Makasih ya, Bah, sudah sabar sama Irsyad. Bah, Bu, Mas, Mbak, makasih ya, dukungannya,” ucap Irsyad yang kemudian disusul foto bersama.
“Oh ya Irsyad lupa mau tanya. Bah Irsyad sebenarnya sakit apa sih? Terus ke pondoknya kapan? Irsyad kangen sama temen-temen.” Ucapnya. Abah Ibu serta kakak-kakak yang mendengarnya yang mula Bahagia seketika menjadi sedih. Abah Ibu Irsyad saling bertatapan, kemudian dengan berat hati abah Irsyad berterus terang.
“Le ini nggak tahu hari yang Bahagia atau sedih. Kamu mengidap penyakit gagar otak, Le. Kata dokter malam ini operasi. Abah Irsyad sebagai kepala keluarga tidak sanggup menahan tangis apalagi ibu serta kakak-kakaknya. Deg! Irsyad merasa seperti jantungnya berhenti berdetak sejenak tak terasa air matanya luruh.
“Irsyad jangan sedih, Kami kakak-kakakmu akan menemani Irsyad sampai sembuh. Semangat, Dek.” Hibur kakak perempuannya.
Dari takhtiman hingga menjelang operasi Irsyad ditemani abah ibu serta saudara-saudaranya.
Hingga tiba saatnya Irsyad operasi, seluruh keluarga besarnya menunggu di depan ruang operasi. Sebagian ada yang sholat di mushola dan berdoa untuk kesembuhan Irsyad. Mereka tak henti meminta, memuja-muja pada Sang Pencipta.
Hingga akhirnya hasil operasipun keluar, dokter menyatakan takdir tuhan yang tidak bisa kita tolak. Ya, Irsyad kini telah tenang setelah meraih cita-citanya, tenang karena rasa rindu ngajinya telah terobati. Rindunya sudah Tuhan penuhi, kini ia yang memenuhi rindu Tuhan, panggilan Tuhan.
END